Kehadiran
Rasulullah SAW mendakwahkan ajaran Islam rupanya membuat orang-orang
musyrik Makkah gerah. Rintangan dan teror ditujukan kepada beliau dan
para pengikutnya dari waktu ke waktu. Karena kedengkian dan kejahatan
mereka, orang-orang musyrik tak membiarkan Rasulullah dan para
pengikutnya hidup tenang.
Namun pada tahun kedelapan dari
kenabian, Rasulullah SAW justru mendapatkan beberapa cobaan yang teramat
berat. Ujian itu adalah embargo kaum kafir Quraisy dan sekutunya
terhadap umat Islam. Aksi embargo ini masih dijalankan meskipun waktu
telah memasuki bulan Haram. Artinya Nabi beserta para sahabatnya tetap
merasakan penganiayaan dan kedhaliman dari mereka yang biasanya
menghentikan segala aktivitas permusuhan terhadap lawan-lawannya.
Pada tahun ini pula dua orang kuat suku Qurays, yakni pamannya Abu
Thalib dan istrinya Khadijah dipanggil menghadap Sang Rabb. Mereka
adalah dua orang yang selama ini mendampingi dan melindungi dakwah Nabi.
Dengan demikian, pada waktu itu Nabi tiada lagi memiliki pembela yang
cukup kuat di hadapan kaumnya sendiri yang memusuhi kebenaran.
Lengkaplah sudah penderitaan Nabi dan para pengikutnya. Dalam sejarah
Islam tahun kedelapan dari kenabian ini disebut sebagai ’amul huzni,
tahun kesedihan.
Untuk menurunkan sedikit tensi kesedihan dan
ketegangan, Rasulullah kemudian mengijinkan para pengikutnya untuk
berhijrah ke Thaif. Namun rupanya Bani Tsaqif yang menguasai tanah Thaif
tidaklah memberikan sambutan hangat kepada para sahabatnya. Mereka yang
datang meminta pertolongan justru diusir dan dihinakan sedemikian rupa.
Mereka dilempari batu hingga harus kembali dengan kondisi
berdarah-darah.
Keseluruhan cobaan berat ini dialami Rasulullah dan para sahabatnya pada tahun yang sama, yakni tahun kedelapan kenabian.
Atas cobaan yang teramat berat dan bertubi-tubi ini, maka Allah SWT
kemudian memberikan “tiket perjalanan” isra’ mi’raj kepada Nabi untuk
menyegarkan kembali ghirroh (semangat) perjuangannya dalam menegakkan
misi agama Islam.
Isra’ Mi’raj ini sejatinya adalah sebuah
pesan kepada seluruh umat Muhammad bahwa, segala macam cobaan yang
seberat apa pun haruslah kita lihat sebagai sebuah permulaan dari akan
dianugerahkannya sebuah kemuliaan kepada kita.
Dalam peristiwa
itu, tepatnya 27 Rajab, Nabi Muhammad SAW dapat saja langsung menuju
langit dari Makkah, namun Allah tetap membawanya dari Masjidil Haram
menuju Masjidil Aqsha terlebih dahulu, yang menjadi pusat peribadahan
nabi-nabi sebelumnya.
Ini dapat berarti bahwa umat Islam tidak
memiliki larangan untuk berbuat baik terhadap sesama manusia, sekalipun
kepada golongan di luar Islam. Hal ini dikarenakan, Islam menghargai
peraturan-peraturan sebelum Islam, seperti halnya khitan yang telah
disyariatkan sejak zaman Nabi Ibrahim AS.
Allah SWT berfirman:
سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ
الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ
لِنُرِيَهُ مِنْ آَيَاتِنَا إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِير
“Maha suci Allah yang memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari
Masjidil Haram ke Majidil Aqsha yang Kami berkahi sekelilingnya agar
Kami memperlihatkan kepadanya sebahagian tanda-tanda (kebesaran) Kami.
(QS. 17.Al-Isra’ :1)
Sebagian ahli tafsir mengatakan, Allah SWT
dalam ayat di atas menyebutkan Muhammad SAW dengan kata “hamba” bukan
“rasul” atau “nabi”. Bahwa yang dibawa dalam perjalanan isra’ mi’raj itu
adalah seorang hamba, yang berarti seorang yang senantiasa menyembah
dan mengabdi kepada Allah SWT.
0 comments:
Post a Comment