|
Pada jaman dahulu, di Jawa Barat hiduplah seorang putri
raja yang bernama Dayang Sumbi. Ia mempunyai seorang anak laki-laki yang
bernama Sangkuriang. Anak tersebut sangat gemar berburu di dalam hutan.
Setiap berburu, dia selalu ditemani oleh seekor anjing kesayangannya yang
bernama Tumang. Tumang sebenarnya adalah titisan dewa, dan juga bapak kandung
Sangkuriang, tetapi Sangkuriang tidak tahu hal itu dan ibunya memang sengaja
merahasiakannya.
Pada suatu hari, seperti biasanya Sangkuriang pergi ke
hutan untuk berburu. Setelah sesampainya di hutan, Sangkuriang mulai mencari
buruan. Dia melihat ada seekor burung yang sedang bertengger di dahan, lalu
tanpa berpikir panjang Sangkuriang langsung menembaknya, dan tepat mengenai
sasaran. Sangkuriang lalu memerintah Tumang untuk mengejar buruannya tadi,
tetapi si Tumang diam saja dan tidak mau mengikuti perintah Sangkuriang.
Karena sangat jengkel pada Tumang, maka Sangkuriang lalu mengusir Tumang dan
tidak diijinkan pulang ke rumah bersamanya lagi.
Sesampainya di rumah, Sangkuriang menceritakan kejadian
tersebut kepada ibunya. Begitu mendengar cerita dari anaknya, Dayang Sumbi
sangat marah. Diambilnya sendok nasi, dan dipukulkan ke kepala Sangkuriang.
Karena merasa kecewa dengan perlakuan ibunya, maka Sangkuriang memutuskan
untuk pergi mengembara, dan meninggalkan rumahnya.
Setelah kejadian itu, Dayang Sumbi sangat menyesali
perbuatannya. Ia berdoa setiap hari, dan meminta agar suatu hari dapat
bertemu dengan anaknya kembali. Karena kesungguhan dari doa Dayang Sumbi
tersebut, maka Dewa memberinya sebuah hadiah berupa kecantikan abadi dan usia
muda selamanya.
Setelah bertahun-tahun lamanya Sangkuriang mengembara,
akhirnya ia berniat untuk pulang ke kampung halamannya. Sesampainya di sana,
dia sangat terkejut sekali, karena kampung halamannya sudah berubah total.
Rasa senang Sangkuriang tersebut bertambah ketika saat di tengah jalan
bertemu dengan seorang wanita yang sangat cantik jelita, yang tidak lain
adalah Dayang Sumbi. Karena terpesona dengan kecantikan wanita tersebut, maka
Sangkuriang langsung melamarnya. Akhirnya lamaran Sangkuriang diterima oleh
Dayang Sumbi, dan sepakat akan menikah di waktu dekat.
Pada suatu hari, Sangkuriang meminta ijin calon istrinya
untuk berburu di hatan. Sebelum berangkat, ia meminta Dayang Sumbi untuk
mengencangkan dan merapikan ikat kapalanya. Alangkah terkejutnya Dayang
Sumbi, karena pada saat dia merapikan ikat kepala Sangkuriang, Ia melihat ada
bekas luka. Bekas luka tersebut mirip dengan bekas luka anaknya. Setelah
bertanya kepada Sangkuriang tentang penyebab lukanya itu, Dayang Sumbi
bertambah tekejut, karena ternyata benar bahwa calon suaminya tersebut adalah
anaknya sendiri.
Dayang Sumbi sangat bingung sekali, karena dia tidak
mungkin menikah dengan anaknya sendiri. Setelah Sangkuriang pulang berburu,
Dayang Sumbi mencoba berbicara kepada Sangkuriang, supaya Sangkuriang
membatalkan rencana pernikahan mereka. Permintaan Dayang Sumbi tersebut tidak
disetujui Sangkuriang, dan hanya dianggap angin lalu saja.
Setiap hari Dayang Sumbi berpikir bagaimana cara agar
pernikahan mereka tidak pernah terjadi. Setelah berpikir keras, akhirnya
Dayang Sumbi menemukan cara terbaik. Dia mengajukan dua buah syarat kepada
Sangkuriang. Apabila Sangkuriang dapat memenuhi kedua syarat tersebut, maka
Dayang Sumbi mau dijadikan istri, tetapi sebaliknya jika gagal maka
pernikahan itu akan dibatalkan. Syarat yang pertama Dayang Sumbi ingin supaya
sungai Citarum dibendung. Dan yang kedua adalah, meminta Sangkuriang untuk
membuat sampan yang sangat besar untuk menyeberang sungai. Kedua syarat itu
harus diselesai sebelum fajar menyingsing.
Sangkuriang menyanggupi kedua permintaan Dayang Sumbi
tersebut, dan berjanji akan menyelesaikannya sebelum fajar menyingsing.
Dengan kesaktian yang dimilikinya, Sangkuriang lalu mengerahkan
teman-temannya dari bangsa jin untuk membantu menyelesaikan tugasnya
tersebut. Diam-diam, Dayang Sumbi mengintip hasil kerja dari Sangkuriang.
Betapa terkejutnya dia, karena Sangkuriang hampir menyelesaiklan semua syarat
yang diberikan Dayang Sumbi sebelum fajar.
Dayang Sumbi lalu meminta bantuan masyarakat sekitar
untuk menggelar kain sutera berwarna merah di sebelah timur kota. Ketika
melihat warna memerah di timur kota, Sangkuriang mengira kalau hari sudah
menjelang pagi. Sangkuriang langsung menghentikan pekerjaannya dan merasa
tidak dapat memenuhi syarat yang telah diajukan oleh Dayang Sumbi.
Dengan rasa jengkel dan kecewa, Sangkuriang lalu menjebol
bendungan yang telah dibuatnya sendiri. Karena jebolnya bendungan itu, maka
terjadilah banjir dan seluruh kota terendam air. Sangkuriang juga menendang
sampan besar yang telah dibuatnya. Sampan itu melayang dan jatuh
tertelungkup, lalu menjadi sebuah gunung yang bernama Tangkuban Perahu.
|
Showing posts with label CERITA RAKYAT INDONESIA. Show all posts
Showing posts with label CERITA RAKYAT INDONESIA. Show all posts
6/03/2012
SANGKURIANG
RAWA PENING
Rawa Pening adalah sebuah tempat wisata air di
Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Luasnya 2.670 hektare, dan menempati wilayah
kecamatan Ambarawa, Bawen, Tuntang, dan Banyubiru. Hampir seluruh permukaan
rawa ini tertutup tanaman enceng gondok. Tanaman sejenis gulma ini juga sudah
menutupi Sungai Tuntang, terutama di bagian hulu.
Menurut legenda, Rawapening adalah Telaga yang
muncul, menurut mitos, sebagai ekses kemarahan seorang pemuda miskin bernama
Jaka Baru Klinting. Ia menjadi bulan-bulanan dan ejekan penduduk sekitar yang
arogan dan rakus. Pemuda itu sendiri, menurut cerita, merupakan jelmaan seekor
naga yang baru saja dibunuh oleh warga setempat untuk konsumsi pesta rakyat.
Kedatangan Baru Klinting memicu kemarahan warga,
karena mereka tak ingin melihat seorang pemuda berpenampilan lusuh dan dekil.
Hanya seorang janda tua bernama Nyai Latung saja yang mau memberikan perhatian
kepadanya, termasuk ketika Klinting minta makan-minum. Ejekan dan perlakuan tak
adil itu membuat Klinting marah hingga ia berani mengajukan sebuah tantangan
kepada warga setempat. Pemuda ini menantang mereka apakah mampu mencabut
sehelai daun yang dibenamkan di dalam tanah.
Di luar dugaan, warga yang marah tak sanggup
melakukan itu, selain Klinting sendiri. Namun, ketika ia mencabut daun itu,
memancurlah air dari tanah di mana daun tadi tertancap. Makin lama makin banyak
hingga akhirnya menjadi air bah yang menenggelamkan seluruh warga Ngebel selain
Nyai Latung, dan jadilah sebuah telaga
"TIMUN EMAS"
Di suatu desa hiduplah seorang janda tua yang bernama
mbok Sarni. Tiap hari dia menghabiskan waktunya sendirian, karena mbok Sarni
tidak memiliki seorang anak. Sebenarnya dia ingin sekali mempunyai anak, agar
bisa membantunya bekerja.
Pada suatu sore pergilah mbok Sarni ke hutan untuk
mencari kayu, dan ditengah jalan mbok Sarni bertemu dengan raksasa yang sangat
besar sekali. “Hei, mau kemana kamu?”, tanya si Raksasa. “Aku hanya mau
mengumpulkan kayu bakar, jadi ijinkanlah aku lewat”, jawab mbok Sarni.
“Hahahaha.... kamu boleh lewat setelah kamu memberiku seorang anak manusia
untuk aku santap”, kata si Raksasa. Lalu mbok Sarni menjawab, “Tetapi aku tidak
mempunyai anak”.
Setelah mbok Sarni mengatakan bahwa dia tidak punya anak
dan ingin sekali punya anak, maka si Raksasa memberinya biji mentimun. Raksasa
itu berkata, “Wahai wanita tua, ini aku berikan kamu biji mentimun. Tanamlah
biji ini di halaman rumahmu, dan setelah dua minggu kamu akan mendapatkan
seorang anak. Tetapi ingat, serahkan anak itu padaku setelah usianya enam
tahun”.
Setelah dua minggu, mentimun itu nampak berbuah sangat
lebat dan ada salah satu mentimun yang cukup besar. Mbok Sarni kemudian
mengambilnya , dan setelah dibelah ternyata isinya adalah seorang bayi yang sangat
cantik jelita. Bayi itu kemudian diberi nama timun emas.
Semakin hari timun emas semakin tumbuh besar, dan mbok
Sarni sangat gembira sekali karena rumahnya tidak sepi lagi. Semua pekerjaannya
bisa selesai dengan cepat karena bantuan timun emas.
Akhirnya pada suatu hari datanglah si Raksasa untuk
menagih janji. Mbok Sarni sangat ketakutan, dan tidak mau kehilangan timun
emas. Kemudian mbok Sarni berkata, “Wahai raksasa, datanglah kesini dua tahun
lagi. Semakin dewasa anak ini, maka semakin enak untuk di santap”. Si Raksasa
pun setuju dan meninggalkan rumah mbok Sarni.
Waktu dua tahun bukanlah waktu yang lama, karena itu
tiap hari mbok Sarni mencari akal bagaimana caranya supaya anaknya tidak dibawa
si Raksasa. Hati mbok Sarni sangat cemas sekali, dan akhirnya pada suatu malam
mbok Sarni bermimpi. Dalam mimpinya itu, ia diberitahu agar timun emas menemui
petapa di Gunung.
Pagi harinya mbok Sarni menyuruh timun emas untuk segera
menemui petapa itu. Setelah bertemu dengan petapa, timun emas kemudian bercerita
tentang maksud kedatangannya. Sang petapa kemudian memberinya empat buah
bungkusan kecil yang isinya biji mentimun, jarum, garam, dan terasi. “Lemparkan
satu per satu bungkusan ini, kalau kamu dikejar oleh raksasa itu”, perintah
petapa. Kemudian timun meas pulang ke rumah, dan langsung menyimpan bungkusan
dari sang petapa.
Paginya raksasa datang lagi untuk
menagih janji. “Wahai wanita tua, mana anak itu? Aku sudah tidak tahan untuk
menyantapnya”, teriak si Raksasa. Kemudian mbok Sarni menjawab, “Janganlah kau
ambil anakku ini wahai raksasa, karena aku sangat sayang padanya. Lebih baik
aku saja yang kamu santap”. Raksasa tidak mau menerima tawaran dari mbok Sarni
itu, dan akhirnya marah besar. “Mana anak itu? Mana timun emas?”, teriak si
raksasa.
Karena tidak tega melihat mbok
Sarni menangis terus, maka timun emas keluar dari tempat sembunyinya. “Aku di
sini raksasa, tangkaplah aku jika kau bisa!!!”, teriak timun emas.
Raksasapun mengejarnya, dan timun
emas mulai melemparkan kantong yang berisi mentimun. Sungguh ajaib, hutan
menjadi ladang mentimun yang lebat buahnya. Raksasapun menjadi terhambat,
karena batang timun tersebut terus melilit tubuhnya. Tetapi akhirnya si raksasa
berhasil bebas juga, dan mulai mngejar timun emas lagi. Lalu timun emas
menaburkan kantong kedua yang berisi jarum, dalam sekejap tumbuhlan pohon-pohon
bambu yang sangat tinggi dan tajam. Dengan kaki yang berdarah-darah karena
tertancap bambu tersebut si raksasa terus mengejar.
Kemudian timun emas membuka
bingkisan ketiga yang berisi garam. Seketika itu hutanpun menjadi lautan luas.
Tetapi lautan itu dengan mudah dilalui si raksasa. Yang terakhir Timun Emas
akhirnya menaburkan terasi, seketika itu terbentuklah lautan lumpur yang
mendidih, dan si raksasa tercebur di dalamnya. Akhirnya raksasapun mati.
Timun Emas mengucap syukur kepada
Tuhan YME, karena sudah diselamatkan dari raksasa yang kejam. Akhirnya Timun
Emas dan Mbok Sarni hidup bahagia dan damai.
LEGENDA CANDI PRAMBANAN
Alkisah, pada
dahulu kala terdapat sebuah kerajaan besar yang bernama Prambanan. Rakyatnya
hidup tenteran dan damai. Tetapi, apa yang terjadi kemudian? Kerajaan Prambanan
diserang dan dijajah oleh negeri Pengging. Ketentraman Kerajaan Prambanan
menjadi terusik. Para tentara tidak mampu menghadapi serangan pasukan Pengging.
Akhirnya, kerajaan Prambanan dikuasai oleh Pengging, dan dipimpin oleh Bandung
Bondowoso.
Bandung
Bondowoso seorang yang suka memerintah dengan kejam. “Siapapun yang tidak
menuruti perintahku, akan dijatuhi hukuman berat!”, ujar Bandung Bondowoso pada
rakyatnya. Bandung Bondowoso adalah seorang yang sakti dan mempunyai pasukan
jin. Tidak berapa lama berkuasa, Bandung Bondowoso suka mengamati gerak-gerik
Loro Jonggrang, putri Raja Prambanan yang cantik jelita. “Cantik nian putri
itu. Aku ingin dia menjadi permaisuriku,” pikir Bandung Bondowoso.
Esok
harinya, Bondowoso mendekati Loro Jonggrang. “Kamu cantik sekali, maukah kau
menjadi permaisuriku ?”, Tanya Bandung Bondowoso kepada Loro Jonggrang. Loro
Jonggrang tersentak, mendengar pertanyaan Bondowoso. “Laki-laki ini lancang
sekali, belum kenal denganku langsung menginginkanku menjadi permaisurinya”,
ujar Loro Jongrang dalam hati. “Apa yang harus aku lakukan ?”. Loro Jonggrang
menjadi kebingungan. Pikirannya berputar-putar. Jika ia menolak, maka Bandung
Bondowoso akan marah besar dan membahayakan keluarganya serta rakyat Prambanan.
Untuk mengiyakannya pun tidak mungkin, karena Loro Jonggrang memang tidak suka
dengan Bandung Bondowoso.
“Bagaimana,
Loro Jonggrang ?” desak Bondowoso. Akhirnya Loro Jonggrang mendapatkan ide.
“Saya bersedia menjadi istri Tuan, tetapi ada syaratnya,” Katanya. “Apa
syaratnya? Ingin harta yang berlimpah? Atau Istana yang megah?”. “Bukan itu,
tuanku, kata Loro Jonggrang. Saya minta dibuatkan candi, jumlahnya harus seribu
buah. “Seribu buah?” teriak Bondowoso. “Ya, dan candi itu harus selesai dalam
waktu semalam.” Bandung Bondowoso menatap Loro Jonggrang, bibirnya bergetar
menahan amarah. Sejak saat itu Bandung Bondowoso berpikir bagaimana caranya
membuat 1000 candi. Akhirnya ia bertanya kepada penasehatnya. “Saya percaya
tuanku bias membuat candi tersebut dengan bantuan Jin!”, kata penasehat. “Ya,
benar juga usulmu, siapkan peralatan yang kubutuhkan!”
Setelah
perlengkapan di siapkan. Bandung Bondowoso berdiri di depan altar batu. Kedua
lengannya dibentangkan lebar-lebar. “Pasukan jin, Bantulah aku!” teriaknya
dengan suara menggelegar. Tak lama kemudian, langit menjadi gelap. Angin
menderu-deru. Sesaat kemudian, pasukan jin sudah mengerumuni Bandung Bondowoso.
“Apa yang harus kami lakukan Tuan ?”, tanya pemimpin jin. “Bantu aku membangun
seribu candi,” pinta Bandung Bondowoso. Para jin segera bergerak ke sana
kemari, melaksanakan tugas masing-masing. Dalam waktu singkat bangunan candi
sudah tersusun hampir mencapai seribu buah.
Sementara
itu, diam-diam Loro Jonggrang mengamati dari kejauhan. Ia cemas, mengetahui
Bondowoso dibantu oleh pasukan jin. “Wah, bagaimana ini?”, ujar Loro Jonggrang
dalam hati. Ia mencari akal. Para dayang kerajaan disuruhnya berkumpul dan
ditugaskan mengumpulkan jerami. “Cepat bakar semua jerami itu!” perintah Loro
Jonggrang. Sebagian dayang lainnya disuruhnya menumbuk lesung. Dung… dung…dung!
Semburat warna merah memancar ke langit dengan diiringi suara hiruk pikuk,
sehingga mirip seperti fajar yang menyingsing.
Pasukan
jin mengira fajar sudah menyingsing. “Wah, matahari akan terbit!” seru jin.
“Kita harus segera pergi sebelum tubuh kita dihanguskan matahari,” sambung jin
yang lain. Para jin tersebut berhamburan pergi meninggalkan tempat itu. Bandung
Bondowoso sempat heran melihat kepanikan pasukan jin.
Paginya,
Bandung Bondowoso mengajak Loro Jonggrang ke tempat candi. “Candi yang kau
minta sudah berdiri!”. Loro Jonggrang segera menghitung jumlah candi itu.
Ternyata jumlahnya hanya 999 buah!. “Jumlahnya kurang satu!” seru Loro
Jonggrang. “Berarti tuan telah gagal memenuhi syarat yang saya ajukan”. Bandung
Bondowoso terkejut mengetahui kekurangan itu. Ia menjadi sangat murka. “Tidak
mungkin…”, kata Bondowoso sambil menatap tajam pada Loro Jonggrang. “Kalau
begitu kau saja yang melengkapinya!” katanya sambil mengarahkan jarinya pada
Loro Jonggrang. Ajaib! Loro Jonggrang langsung berubah menjadi patung batu.
Sampai saat ini candi-candi tersebut masih ada dan disebut Candi Loro
Jonggrang. Karena terletak di wilayah Prambanan, Jawa Tengah, Candi Loro Jonggrang
dikenal sebagai Candi Prambanan
ASAL USUL KOTA BANYUWANGI
Pada zaman
dahulu di kawasan ujung timur Propinsi Jawa Timur terdapat sebuah kerajaan
besar yang diperintah oleh seorang Raja yang adil dan bijaksana. Raja tersebut mempunyai seorang putra yang gagah
bernama Raden Banterang. Kegemaran Raden Banterang adalah berburu. “Pagi hari
ini aku akan berburu ke hutan. Siapkan alat berburu,” kata Raden Banterang
kepada para abdinya. Setelah peralatan berburu siap, Raden Banterang disertai
beberapa pengiringnya berangkat ke hutan. Ketika Raden Banterang berjalan
sendirian, ia melihat seekor kijang melintas di depannya. Ia segera mengejar
kijang itu hingga masuk jauh ke hutan. Ia terpisah dengan para pengiringnya.
“Kemana seekor kijang tadi?”, kata Raden
Banterang, ketika kehilangan jejak buruannya. “Akan ku cari terus sampai
dapat,” tekadnya. Raden Banterang menerobos semak belukar dan pepohonan hutan.
Namun, binatang buruan itu tidak ditemukan. Ia tiba di sebuah sungai yang
sangat bening airnya. “Hem, segar nian air sungai ini,” Raden Banterang minum
air sungai itu, sampai merasa hilang dahaganya. Setelah itu, ia meninggalkan
sungai. Namun baru beberapa langkah berjalan, tiba-tiba dikejutkan kedatangan
seorang gadis cantik jelita.
“Ha? Seorang gadis cantik jelita? Benarkah ia
seorang manusia? Jangan-jangan setan penunggu hutan,” gumam Raden Banterang
bertanya-tanya. Raden Banterang memberanikan diri mendekati gadis cantik itu.
“Kau manusia atau penunggu hutan?” sapa Raden Banterang. “Saya manusia,” jawab
gadis itu sambil tersenyum. Raden Banterang pun memperkenalkan dirinya. Gadis
cantik itu menyambutnya. “Nama saya Surati berasal dari kerajaan Klungkung”.
“Saya berada di tempat ini karena menyelamatkan diri dari serangan musuh. Ayah
saya telah gugur dalam mempertahankan mahkota kerajaan,” Jelasnya. Mendengar
ucapan gadis itu, Raden Banterang terkejut bukan kepalang. Melihat penderitaan
puteri Raja Klungkung itu, Raden Banterang segera menolong dan mengajaknya
pulang ke istana. Tak lama kemudian mereka menikah membangun keluarga bahagia.
Pada suatu hari, puteri Raja Klungkung
berjalan-jalan sendirian ke luar istana. “Surati! Surati!”, panggil seorang laki-laki
yang berpakaian compang-camping. Setelah mengamati wajah lelaki itu, ia baru
sadar bahwa yang berada di depannya adalah kakak kandungnya bernama Rupaksa.
Maksud kedatangan Rupaksa adalah untuk mengajak adiknya untuk membalas dendam,
karena Raden Banterang telah membunuh ayahandanya. Surati menceritakan bahwa ia
mau diperistri Raden Banterang karena telah berhutang budi. Dengan begitu,
Surati tidak mau membantu ajakan kakak kandungnya. Rupaksa marah mendengar
jawaban adiknya. Namun, ia sempat memberikan sebuah kenangan berupa ikat kepala
kepada Surati. “Ikat kepala ini harus kau simpan di bawah tempat tidurmu,”
pesan Rupaksa.
Pertemuan Surati dengan kakak kandungnya tidak
diketahui oleh Raden Banterang, dikarenakan Raden Banterang sedang berburu di
hutan. Tatkala Raden Banterang berada di tengah hutan, tiba-tiba pandangan
matanya dikejutkan oleh kedatangan seorang lelaki berpakaian compang-camping.
“Tuangku, Raden Banterang. Keselamatan Tuan terancam bahaya yang direncanakan
oleh istri tuan sendiri,” kata lelaki itu. “Tuan bisa melihat buktinya, dengan
melihat sebuah ikat kepala yang diletakkan di bawah tempat peraduannya. Ikat
kepala itu milik lelaki yang dimintai tolong untuk membunuh Tuan,” jelasnya.
Setelah mengucapkan kata-kata itu, lelaki berpakaian compang-camping itu hilang
secara misterius. Terkejutlah Raden Banterang mendengar laporan lelaki
misterius itu. Ia pun segera pulang ke istana. Setelah tiba di istana, Raden
Banterang langsung menuju ke peraaduan istrinya. Dicarinya ikat kepala yang
telah diceritakan oleh lelaki berpakaian compang-camping yang telah menemui di
hutan. “Ha! Benar kata lelaki itu! Ikat kepala ini sebagai bukti! Kau
merencanakan mau membunuhku dengan minta tolong kepada pemilik ikat kepala
ini!” tuduh Raden Banterang kepada istrinya. “ Begitukah balasanmu padaku?”
tandas Raden Banterang.”Jangan asal tuduh. Adinda sama sekali tidak bermaksud
membunuh Kakanda, apalagi minta tolong kepada seorang lelaki!” jawab Surati.
Namun Raden Banterang tetap pada pendiriannya, bahwa istrinya yang pernah
ditolong itu akan membahayakan hidupnya. Nah, sebelum nyawanya terancam, Raden
Banterang lebih dahulu ingin mencelakakan istrinya.
Raden Banterang berniat menenggelamkan istrinya di
sebuah sungai. Setelah tiba di sungai, Raden Banterang menceritakan tentang
pertemuan dengan seorang lelaki compang-camping ketika berburu di hutan. Sang
istri pun menceritakan tentang pertemuan dengan seorang lelaki berpakaian
compang-camping seperti yang dijelaskan suaminya. “Lelaki itu adalah kakak
kandung Adinda. Dialah yang memberi sebuah ikat kepala kepada Adinda,” Surati
menjelaskan kembali, agar Raden Banterang luluh hatinya. Namun, Raden Banterang
tetap percaya bahwa istrinya akan mencelakakan dirinya. “Kakanda suamiku!
Bukalah hati dan perasaan Kakanda! Adinda rela mati demi keselamatan Kakanda.
Tetapi berilah kesempatan kepada Adinda untuk menceritakan perihal pertemuan
Adinda dengan kakak kandung Adinda bernama Rupaksa,” ucap Surati mengingatkan.
“Kakak Adindalah yang akan membunuh kakanda!
Adinda diminati bantuan, tetapi Adinda tolah!”. Mendengar hal tersebut , hati
Raden Banterang tidak cair bahkan menganggap istrinya berbohong.. “Kakanda !
Jika air sungai ini menjadi bening dan harum baunya, berarti Adinda tidak
bersalah! Tetapi, jika tetap keruh dan bau busuk, berarti Adinda bersalah!”
seru Surati. Raden Banterang menganggap ucapan istrinya itu mengada-ada. Maka,
Raden Banterang segera menghunus keris yang terselip di pinggangnya. Bersamaan
itu pula, Surati melompat ke tengah sungai lalu menghilang.
Tidak berapa lama, terjadi sebuah keajaiban. Bau
nan harum merebak di sekitar sungai. Melihat kejadian itu, Raden Banterang
berseru dengan suara gemetar. “Istriku tidak berdosa! Air kali ini harum
baunya!” Betapa menyesalnya Raden Banterang. Ia meratapi kematian istrinya, dan
menyesali kebodohannya. Namun sudah terlambat.
Sejak itu, sungai
menjadi harum baunya. Dalam bahasa Jawa disebut Banyuwangi. Banyu artinya air
dan wangi artinya harum. Nama Banyuwangi kemudian menjadi nama kota Banyuwangi.
Subscribe to:
Posts (Atom)